Saturday, June 4, 2016

FILOSOFI HANACARAKA


Aksara Jawa pada tiap-tiap aksaranya mempunyai makna dan ajaran mendalam tentang sejatining urip. Hal tersebut menempatkan aksara Jawa pada posisi penting yang baku bagi masyarakat Jawa itu sendiri. Symbol dan makna aksara Jawa adalah sebagai berikut:

 

Cerita rakyat Aji Saka adalah cerita rakyat yang berasal dari Jawa Tengah. Aksara Jawa tidak bisa lepas dari Aksara Jawa, karena masyarakat pada umumnya meyakini betul bahwa Aji Saka adalah tokoh pembawa aksara Jawa yang sampai saat ini masih digunakan oleh masyarakat Jawa.
Dahulu kala di suatu daerah yang bernama Medhang Kamolan, dirajai oleh Dewata Cengkar yang berwujud raksasa. Dewata Cengkar mempunyai kegemaran yang cukup menakutkan, yaitu memakan daging manusia. Kegemaran yang dimiliki oleh Dewata Cengkar inilah yang mengakibatkan rakyatnya berbondong-bondong meninggalkan Medhang Kamolan untuk menyelamatkan diri.
Sementara itu di Majeti, Aji Saka bersama dua abdinya, Sembada dan Dora baru saja tiba dari Hindustan. Ketika mereka sedang beristirahat, tak sengaja Aji Saka mendengar masyarakat membicarakan kegemaran Dewata Cengkar yang mengakibatkan para rakyatnya berbondong-bondong pergi dari Medhang Kamolan karena ketakutan. Mendengar masyarakat yang heboh menceritakan hal itu, Aji Saka lantas penasaran dan memutuskan pergi ke Medhang Kamolan untuk bertemu langsung dengan Dewata Cengkar, raja Medhang Kamolan. Aji Saka mengajak serta Dora untuk ikut bersamanya, namun Sembada diminta untuk tetap tinggal di Majeti. Semua barang ditinggal di Majeti termasuk keris pusaka Aji Saka agar Dewata Cengkar percaya bahwa Aji Saka adalah rakyat biasa. Aji Saka berpesan kepada Sembada sebelum ia berangkat agar Sembada menjaga keris itu baik-baik, agar tidak jatuh ke tangan siapapun sampai Aji Saka sendiri yang datang untuk mengambilnya.
Setiba Aji Saka di Medhang Kamolan, ia langsung menghadap Dewata Cengkar dan menawarkan diri untuk menjadi santapannya, namun Aji Saka mengajukan syarat kepada Dewata Cengkar. Aji Saka meminta sebidang tanah seluas surban yang dikenakannya dan harus disaksikan seluruh rakyat Medhang Kamolan. Dewata Cengkar tertawa terbahak-bahak mendengar syarat yang diajukkan Aji Saka. Konyol sekali pikir Dewata Cengkar, seluruh tanah Jawa ini adalah milik Dewata Cengkar, namun Aji Saka hanya meminta tanah seluas surbannya untuk ditukar dengan nyawa.
Keesokan harinya, seluruh warga Medhang Kamolan telah berkumpul untuk menyaksikan pengukuran tanah yang hendak diminta Aji Saka sebagai upahnya. Aji Saka mulai melepas surbannya dan memegang ujungnya, sementara Dewata cengkar mulai membuka gulunggannya dan berjalan mundur. Namun ajaib, Dewata Cengkar terus saja berjalan mundur sampai jauh, namun surban Aji Saka tak habis-habis, hingga Dewata Cengkar sampai di tepi laut, di ujung tanah Jawa. Dewata Cengkar mulai kewalahan. Dewata Cengkar baru sadar kalau yang sedang ia hadapi bukan rakyat biasa yang bodoh. Dewata Cengkar kemudian berteriak minta ampun dan berjanji tidak akan lagi memakan rakyatnya, namun warga bersorak senang dan meminta Aji Saka untuk tidak member ampun pada Dewata Cengkar. Aji Saka pun mengibaskan surbannya dan Dewata Cengkar pun terpelanting hingga ia tercebur ke dalam lautan dan seketika berubah menjadi buaya putih. Masyarakat bersorak kegirangan dan mengangkat Aji Saka menjadi raja di Medhang Kamolan menggantikan Dewata Cengkar yang sekarang telah berubah menjadi buaya putih.
Pada suatu hari Aji Saka teringat pada salah satu abdinya, Sembada yang masih berada di Majeti. Aji Saka mengutus abdinya, Dora untuk menjemput Sembada, karena Aji Saka tak sempat pergi sendiri setelah ia menjadi raja di Medhang Kamolan. Dora pun berangkat menuju Majeti. Sesampainya di Majeti, kedua saudara itu saling berpelukan dan melepas rindu setelahh lama tak bertemu. Dora menceritakan perjalannya bersama Aji Saka ke Medhang Kamolan, sampai Aji Saka bisa menjadi seorang raja disana setelah mengalahkan Dewata Cengkar. Dora kemudian mengutarakan maksud kedatangannya ke Majeti, yaitu untuk  mengambil keris Aji Saka, namun Sembada menolak, mengingat pesan Aji Saka dahulu sebelum Aji Saka pergi ke Medhang Kamolan. Dora pun marah mendengar penolakan Sembada, kemudian Dora menyerang Sembada. Sembada dan Dora mengadu kekuatan, yang pada akhirnya matilah mereka berdua karena sama-sama kuatnya.
Sementara di Medhang Kamolan, Aji Saka mendapat firasat buruk setelah ia baru mengingat pesan yang ia sampaikan kepada Sembada sebelum ia dan Dora pergi ke Majeti. Aji Saka pun memutuskan untuk menyusul para abdinya ke Majeti. Namun semua sudah terlambat. Ketika Aji Saka sampai di Majeti, kedua abdinya telah menjadi jasad. Aji Saka kemudian menulis aksara Jawa sebagai berikut:

 

 

a  n  c  r  k     : Ada utusan

f  t  s  w  l    : Saling bertengkar

p  d  j  y  v   : Sama-sama kuatnya

m  g  b  q   z    : Sama-sama matinya (sempyuh).


source:google.com

 

 Simbol dan Makna Cerita Rakyat Aji Saka 
  Simbol adalah hasil pemikiran manusia yang terkandung dalam objek tertentu.
 Manusia menciptakan symbol-simbol untuk mempermudah ingatan terhadap suatu pengetahuan.
 
 Cerita rakyat Aji Saka sebagai asal mula lahirnya Aksara Jawa, mengandung makna pada setiap nama subjek dan tokohnya. 
 
  1.  Nama Aji Saka mengandung arti, Aji: ratu ; sesuatu yang berharga (Herusatoto, 2008: 83). Aji juga mempunyai makna angka satu, sebagai perlambang yang digunakan nenek moyang orang Jawa untuk mempermudah ingatan dimulainya tarikh Jawa yaitu  tarikh Çaka. Aji Saka sendiri berarti Raja Saka, Saka: pilar; asal. Endraswara (2006: 3) berpendapat bahwa Aji berarti raja, dan Saka berarti tiang. Aji Saka adalah pembawa ilmu pengetahuan yang mencerahkan kehidupan masyarakat Jawa dari kebodohan, menjadi penyangga yang memperkokoh diri manusia dalam religiusitas. Ilmu pengetahuan adalah pilar kehidupan yang sangat berharga.

  2.  Nama Medhang Kamolan mempunyai arti; Medhang: tanah yang lapang, dan Kamolan: kemulan (tertutup). Dalam cerita rakyat Aji Saka ini nama Medhang Kamolan menggambarkan keadaan tanah Jawa pada masa itu.  Sebuah pulau yang begitu luas, namun masih berpola pikir primitive dan tetutup oleh kebodohan karena belum adanya tulisan. Ada perbedaan mendasar antara peradaban yang tanpa tulisan dan peradaban yang mempunyai tulisan. Peradapan yang mempunyai tulisan setidaknya setingkat lebih maju dibandingkan peradapan tanpa tulisan (Endraswara, 2005: 13).

  3.  Nama kedua abdi Aji Saka, yaitu Dora dan Sembada adalah gambaran dari diri manusia yang mempunyai watak benar dan  salah, yang akan terus menerus bertentangan sampai ajal menjemput. Dora merupakan symbol sifat yang salah (dzat sawala), karena memaksakan kehendak, tamak dan membohongi  Sembada dengan merubah perintah Aji Saka yang memerintahkan untuk menjemput Sembada beserta kerisnya, anmun Dora berdusta dengan mengatakan akan mengambil kerisnya saja. Sedangkan Sembada adalah symbol sifat kebenaran (dzat tan sawala). Karena mempertahankan amanat Aji Saka. Dua abdi Aji Saka ini adalah lambing sifat baik dan sifat buruk manusia yang tak akan terpisahkan sampai ajal menjemput.

  4. Nama Dewata Cengkar yang dilukiskan sebagi raksasa mepakan manusia adalah lambing kebodohan masyarakat Jawa pada masa itu, masa sebelum masyarakat Jawa mengenal tulisan. Herusatoto (2008:74) menyebutkan arti dari Dewata Cengkar adalah “dewa yang ingkar”. Raksasa (buta) dalam dongeng-dongeng yang tersebar di Jawa, biasa digunakan untuk melambangkan kebodohan.

  5.  Dalam cerita rakyat Aji Saka dikisahkan bahwa Aji Saka meminta tanah seluas ikat kepala (surban) sebagai ganti atau permintaan terakhir sebelum ia menjadi santapan Dewata Cengkar. Dewata Cengkar menyanggupi, namun ia heran karena ketika ikat kepala (surban) Aji Saka dibentangkan, surban Aji Saka tak kunjung habis, sampai Dewata Cengkar tiba di bibir pantai. Surban dikibaskan, kemudian Dewata Cengkar pun tercebur ke dalam laut dan berubah menjadi buaya putih.

  6.  Surban adalah lambang ilmu pengetahuan, karena ilmu itu berada di kepala (otak) sebagai pusat piker manusia. Hal ini menyimbolkan bahwa ilmu pengetahuan tidak akan habis sampai kapanpun juga.

  7.  Pulau Majeti berasal dari kata, Ma yaitu diterima, Jet yaitu Grejet atau bijaksana, dan Ti artinya Pangesti atau do’a yang khusuk. Jadi kata Majeti ini mempunyai arti bahwa do’a orang yang bijak, yang berdo’a dengan khusuk akan diterima dan dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Makna yang terkandung dalam nama Majeti adalah bahwa dalam hidup harus ada penyelarasan antara do’a dan usaha. Manusia harus selalu ingat pada Tuhan, dan selalu ingat bahwa manusia tidak bisa melakukan apa-apa tanpa kuasa Tuhan, untuk itu dalam melakukan hendaknya disertai do’a agar semua berjalan dengan lancar dan dirahmati Tuhan.

  8.  Keris pusaka Aji Saka adalah symbol bahwa Aji Saka bukanlah orang biasa. Keris adalah symbol kepangkatan. Pada dasarnya keris adalah symbol status seseorang. Menurut masyarakat Jawa, orang yang memiliki keris, mempunyai kesaktian taraf tertentu. 

  9.  Berubahnya Dewata Cengkar menjadi Buaya Putih adalah lambang bahwa Dewata Cengkar yang berwujud raksasa sebagai lambang kebodohan, setelah memegang surban (ilmu pengetahuan) pada akhirnya tercebur ke dalam laut yang melambangkan bahwa kebodohan yang dibersihkan atau dipintarkan dengan menyentuh ilmu pengetahuan yang dilambangkan dengan surban dan air sebagai pembersih diri dari kebodohan.

 DIBALIK MAKNA HANACARAKA
 
Ha-Na jika dirangkai menjadi hana, berarti hana hurip (ada hidup) yang berarti selalu ada kehidupan sebelum manusia dilahirkan, yaitu hidup di alam madya(kahyangan)alam ruh, kemudian hidup di dunia(dimensi ke 3), kemudian hidup di akhirat. Dua aksara tadi mengingatkan manusia agar selalu ingat (eling) kepada Tuhan Sang Pencipta Alam.
 
Ca-Ra-Ka berarti Cipta-Rasa-Karsa yang dianugrahkan Tuhan kepada umatnya yang berupa panca indra dan juga pikiran agar manusia dapat berfikir mana yang baik dan mana yang buruk.
 
Da-Ta-Sa-Wa-La berarti saling bertengkar, yang dimaksud dalam baris ini adalah watak manusia yang digambarkan seperti Sembada dan Dora. Watak baik dan buruk manusia yang sangat bertentangan sampai kapanpun.
 
Ma-Ga-Ba-Tha-Nga (padha dadi bathange), jika sudah meninggal dunia, sukma akan kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa, untuk itu agar manusia dapat selamat, hendaknya melakukan semua perintah Tuhan dan menjauhi laranganNya.


Ha-Na-Ca-Ra-Ka
Ha            : Hananira sejatining Hyang (Keberadaanmu sesungguhnya adalah media adanya Tuhan, karena adanya manusia itu sebenarnya adalah sebagai utusan Tuhan)
Na         : Nadyan nora kasat mata pasti ana (Walaupun tidak terlihat oleh mata, namun keberadaanNya dapat dirasakan).
Ca            : Careming Hyang yekti tan cetha wineca ( Kemanunggalan Tuhan sesungguhnya tidak secara gamblang dijelaskan, tidak dapat diramal).
Ra            : Rasakena rakete lan angganira (Rasakanlah kedekatan Tuhan dengan sirimu pada saat kelua masukrnya udara/nafas).
Ka            : Kawruhana jiwanira kongsi kurang weweka (Ketahuilah jangan sampai kita kurang waspada, pada pengetahuanNya disebut Tarekat-Hakekat-Makrifat).

Tuhan itu ada, dan adanya manusia, alam semesta beserta isinya sebagai bukti adanya kuasa Tuhan, walaupun keberadaanNya tak kasat mata, namun Tuhan itu ada, dan dapat dirasakan lewat kebesaran dan kuasaNya, melalui ciptaanNya dan kehendakNya. Manusia harus waspada dalam menjalani hidup agar mendapatkan ketenangan jiwa dan raga karena patuh dan saat kepada perintah Tuhan Sang Pencipta da berpasrah kepadaNya.

Da-Ta-Sa-Wa-La
Da            :  Dadi sasar yen sira ora waspada (menjadi tersesat jika tidak berhati-hati). Tersesat jika tidak waspada, tata-tempat-sempurna terhadap pengetahuan tentang Tuhan.
Ta             : Tamatna prabaning Hyang sung sasmita (Resapilah dan heningkanlah cahaya Tuhan yang penuh dengan perlambang, angan-angan pikiran dan kehendak yang bersemayam di jiwa tiap manusia).
Sa             : Sasmitane kang kongsi bisa karasa (Perlambang dari Tuhan bisa dirasakan oleh manusia, maka manusia hendaknya selalu bersyukur pada semua pemberian Tuhan).
Wa           : Waspadakna wewadi kang sira gawa (Perhatikan rahasia-rahasia Ilahi yang kau bawa).
La            :  Lalekna yen sira tumekeng lalis.(Lupakan kalau aka dating kematianmu, pasrah-berserah-menyerahkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa).

Manusia akan tersesat jika tidak berhati-hati dalam menjalani hidup. Manusia hanya akan terjerat dalam kesenangan duniawi semata dan tidak mendapatkan ketentraman jiwa dan raga jika tidak menjalankan perintah Tuhan dan tidak mempercayai adanya Tuhan. Dalam hidup manusia hanya aka nada nafsu dan angkara murka yang tak ada habisnya. Namun Tuhan telah memberi pertanda akan keberadaanNya yang bisa dirasakan oleh umat manusia. Manusia yang dapat merasakan keberadaan Tuhan, waspada dan pasrah akan mendapatkan ketentraman jiwa.

Pa-Dha-Ja-Ya-Nya
Pa             : Pati sasar tan wun manggya papa. (Mati tersesat tidak akan mendapat apa-apa, agar bisa mencapai kematian yang sempurna atau kesempurnaan kematian harus memahami pengetahuan asal-usul manusia ).
Dha          : Dhasar beda kang wus lali sing godha. (Dhasar berbeda dan telah jauh dari godaan, mereka adalah manusia yang telah dekat dengan makrifat tidak akan hanyut tergoda oleh indah dan nikmatnya duniawi).
Ja              : Jangkane mung jenak jenjeming jiwaraga. (Keinginannya hanya serba tenang dan tentramnya jiwa raga, mengharap pada kesempurnaan jiwa sukmanya/kematian yang sejati).
Ya            : Yatnakna liyep luyuting pralaya. (Rasakanlah keadaan liyep luyuting pralaya: trance. Hati-hatilah dalam menghadapi kematian dan keikhlasan semuannya, jika sampai waktunya).
Nya          : Nyata sonya nyenyet labeting kadonyan. (Benar-benar sepi dan sunyi dari keduniawian, mati itu tidak ada hubungannya dengan kehidupan duniawi).

Jika manusia berpasrah diri pada Tuhan, menjalankan semua perintahNya dan menjauhi laranganNya, maka ia tidak akan mendapat siksaan mereka dan kesengsaraan setelah meninggal, atau dalam kehidupan di akhirat. Manusia yang tahan dengan godaan setan akan mendapatkan ketentraman jiwa raga dan meninggal dengan damai seperti layaknya orang yang tertidur. Jauh dari keramaian duniawi yang penuh dengan kedenangan yang sesaat yang biusa menjerumuskan manusia ke dalam kesesatan jika ia tidak bisa mengendalikan hawa nafsunya.

Ma-Ga-Ba-Tha-Nga
Ma            : Madyeng ngalam pangrantunan awya samar. (Berada di alam penantian jangan bimbang dan ragu, semua berasal dari Tuhan akan kembali kepada Tuhan atau kematian yang sempurna).
Ga            : Gayuhaning tanna liyan jun sarwa arga. (Tujuan hidupnya tak lain hanyalah sampai di swarga arga: surga atau kematian yang sempurna).
Ba            : Bali murba misesa ing njero njaba. (Kembali menguasai keadaan lahir batin: jumbuhing jagad cilik lan jagad gedhe, bersatu kembali kepada Allah/Roji’un).
Tha           : Thakulane widadarja tebah nistha. (Demi keselamatan dan kesejahteraan serta jauh dari kenistaan).
Nga          : Ngarah ing reh mardining rat. (Berkehendak mendapatkan ilmu (reh) menjaga keselarasan jagad, menuai kedamaian-ketentraman-keadilan).

(lihat dan bandingkan Mandali 2008).
Manusia hidup di dunia ini selayaknya focus untuk menjalani kehidupan yang benar dan baik supaya bisa selamat dari dosa. Tujuan manusia adalah kesempurnaan hidup dan surga. Untuk mencapai surga dan Tuhan, manusia harus mengikat hawa nafsunya dari segala perbuatan yang tercela yang menimbulkan dosa, sehingga ia bisa menguasai dirinya baik dari dalam maupun dari luar samapi ia menghembuskan nafas yang terakhir, dan berada di alam penantian.
 
 
 
 
 
 

 
 
Digdaya tanpa aji (Sakti tanpa ajian/ilmu kesaktian) Digdaya artinya tidak mempan segala jenis senjata. Aji itu bisa berupa mantra atau benda (keris, akik, gada wesi kuning, dll.) Digdaya secara batiniah tatkala kita tidak punya musuh, tidak pernah menyakiti hati orang, tepa salira dan tenggang rasa. Senjata andalah kita adalah “tresna sejati” (cinta sejati) yang membuat orang lain tidak memiliki alasan untuk membenci, apalagi menyerang kita. Tresna sejati sifatnya tidak memihak dan semua makhluk berhak mendapatkan “tresna sejati” yang kita miliki. “tresna sejati” akan membuat kita menjadi orang merdeka yang mencapai tentrem (tentram), ayem (tidak terusik) dan lerem (mengendapkan pikiran).

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/robit/sugih-tanpa-bandha-digdaya-tanpa-aji-nglurug-tanpa-bala-menang-tanpa-ngasorake_550ab509813311e078b1e2df
Digdaya tanpa aji (Sakti tanpa ajian/ilmu kesaktian) Digdaya artinya tidak mempan segala jenis senjata. Aji itu bisa berupa mantra atau benda (keris, akik, gada wesi kuning, dll.) Digdaya secara batiniah tatkala kita tidak punya musuh, tidak pernah menyakiti hati orang, tepa salira dan tenggang rasa. Senjata andalah kita adalah “tresna sejati” (cinta sejati) yang membuat orang lain tidak memiliki alasan untuk membenci, apalagi menyerang kita. Tresna sejati sifatnya tidak memihak dan semua makhluk berhak mendapatkan “tresna sejati” yang kita miliki. “tresna sejati” akan membuat kita menjadi orang merdeka yang mencapai tentrem (tentram), ayem (tidak terusik) dan lerem (mengendapkan pikiran).

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/robit/sugih-tanpa-bandha-digdaya-tanpa-aji-nglurug-tanpa-bala-menang-tanpa-ngasorake_550ab509813311e078b1e2df
Pamulange sangsarane sesami = pelajarannya sengsaranya sesama * Sakti tanpa aji = berhasil tanpa sarana * Sugih tanpa banda = bisa menginginkan apa saja tanpa persiapan * Ngluruk tanpa bala = menyusup tanpa teman, tetapi selalu mendapatkan hasil * ngasorake tanpa peperangan = menang tanpa menggunakan kekerasan/perang (objek)apa kang sinedya teka,apa kang kacipta dadi = apa yang diinginkan/diamaui akan terjadi/ tercipta. * Digdaya tanpa aji = sakti tanpa ajian * Trimah mawi pasrah = menerima dengan menyerah * Suwung pamrih tebih adjrih = sepi hasrat jauh dari takut * Langgeng tan ana susah tana ana bungah= tenang tetap hidup nama * Murid gurune pribadi = murid gurunya pribadi

Selengkapnya : http://mistikindonesia.com/2014/12/11/filsafat-aksara-jawa.html/3

LATEST POSTS