bab I."TOMBO ATI" DALAM PRAKTEK PSIKOLOGI
Lirik asli tembang Jawa ini adalah sebagai berikut:
Tombo ati iku limo ing wernane
Kaping pisan moco qur'an angen-angen sak maknane
Kaping pindho sholat wengi lakonono
Kaping telu wong kang sholeh kumpulono
Kaping papat kudu weteng ingkang luwe
Kaping limo dzikir wengi ingkang suwe
Tembang “tombo ati” ini merupakan satu dari banyak ajaran suluk yang
diciptakan oleh
Sunan Bonang atau yang bernama asli Maulana Makhdum
Ibrahim, satu dari sembilan wali penyebar ajaran Islam. Ajaran suluk ini
merupakan satu pendekatan khas yang digunakan Sang Sunan dalam
dakwahnya, mewakili caranya mengungkapkan rasa ketuhanannya yang
beraliran mirip dengan
Jalaluddin Rumi, dimana syair-syair dakwahnya
beraroma cinta dan kegandrungan kepada Tuhan. Tetapi, bukan dalam
kerangkan sufisme saya menulis ini, melainkan dalam kerangka psikoterapi
atau penyembuhan diri dalam praktek Psikologi.
Mari mengupasnya satu persatu:
Tombo ati iku limo ing wernane (Obat hati itu ada lima perkara)
1. Moco qur'an sak maknane (bacalah al-Qur-an dengan memahami maknanya)
Sudah membaca tulisan saya sebelumnya tentang "Biblioterapi"?
Biblioterapi merupakan satu dari sekian banyak teknik dalam psikoterapi,
yaitu penyembuhan mental dengan menggunakan bahan pustaka atau bacaan
sebagai medianya. Kali ini, media khusus yang akan kita bahas adalah
al-Qur'an. Karena al-qur'an adalah kitab yang diturunkan dengan bahasa
(dan budaya) Arab, maka mungkin dengan alasan tersebut Sang Sunan
menambahkan kalimat "angen-angen sak maknane".
"Angen-angen" adalah
sebuah proses perenungan dalam tujuan menemukan makna. (Berbicara
tentang makna yang dihasilkan dari sebuah proses perenungan panjang,
kita juga bisa meniliknya dalam teknik psikoterapi yang lain yaitu
"Logoterapi". Teknik terapi penemuan makna hidup yang digagas oleh
Viktor Frankl).
Secara umum, dalam teknik Biblioterapi dikenal
tiga tahap yang dilalui
seseorang dalam proses penyembuhannya, yaitu:
- Pertama, tahap
identifikasi, yaitu tahap dimana klien mengidentifikasi dirinya dengan
karakter dan peristiwa yang ada dalam buku, baik yang bersifat nyata
atau fiksi. Bila tema bacaan yang disarankan tepat maka individu akan
mendapatkan karakter yang mirip atau mengalami peristiwa yang sama
dengan dirinya.
- Kedua, tahap katarsis, yaitu tahap dimana klien menjadi
terlibat secara emosional dalam kisah dan menyalurkan emosi-emosi yang
terpendam dalam dirinya secara aman (seringnya melalui diskusi atau
karya seni). Dan
- Ketiga adalah tahap pemerolehan wawasan mendalam
(insight).
Rupanya Sang Sunan lebih cerdas dengan mengemasnya menjadi
sebuah rumus untuk merenungkan materi bacaan (angen-angen maknane
Qur'an). Dalam proses merenung, dengan sendirinya individu akan melalui
tahap identifikasi, katarsis, serta wawasan mendalam atau insight.
2. Sholat wengi lakonono (dirikanlah sholat malam)
Mengapa sholat malam? Biasanya kita menganggap sholat malam adalah
sholat tahajjud, yang merupakan sholat yang didirikan dengan syarat
setelah seseorang (Sempat) tertidur walau sebentar. Tapi, dalam kajian
ini,
sholat malam saya "baca" sebagai sholat sunnah "apa saja" yang
dilakukan pada malam hari. Karena menurut saya yang lebih terkesan
ditekankan dalam syair tembang tersebut adalah
"wengi" atau pemilihan
waktu malam. Mengapa sholat malam yang
"dipilih"? Yang paling mungkin
adalah sisi
"ketenangan"nya yang dicari.
Malam adalah fase dalam siklus
kehidupan harian seseorang atau masyarakat yang paling dapat memberikan
ketenangan karena pada fase ini merupakan fase umum siklus istirahat.
Lingkungan tidak berisik, udara sejuk, kesibukan lain tidak ada, dll.
Dalam sholat-sholat malam ini
(yang tujuannya adalah proses
penyembuhan), perenungan adalah hal yang
"fardhu" alias wajib.
Harus ada
dimensi penyadaran diri di dalamnya. Harus ada dimensi pengakuan dosa.
Harus ada dimensi penyerahan diri. Harus ada dimensi katarsis juga. Yang
kesemuanya menuju pada sebuah proses penyembuhan diri.
3. Wong kang sholeh kumpulono (berkumpullah dengan orang-orang sholeh)
Pernah mendengar teori Bioekologi yang digagas oleh Urie Bronfenbrenner?
Teori yang satu ini menganggap lingkungan sebagai sebuah lingkaran yang
mengelilingi setiap individu dan memberikan pengaruh baik secara
langsung maupun tak langsung kepada perkembangannya sepanjang hayat.
Lingkaran paling kecil (mikrosistem) diisi oleh keluarga, sekolah
tetangga dan lingkungan tempat tinggal, media massa yang beredar di
sekitar, serta teman sebaya atau teman bermain sehari-hari. Lingkaran
yang agak besar (mesosistem) diisi oleh: hubungan keluarga dengan
tetangga sekitar, kebiasaan teman bermain dalam memilih jenis tontonan
TV di media massa, nilai-nilai yang dikembangkan di sekolah atau
penitipan anak, dll. Mesosistem ini merupakan hubungan antar unsur yang
ada dalam mikrosistem. Lingkaran yang lebih besar (eksosistem) diisi
oleh: pekerjaan orangtua, kebijakan sekolah yang berasal dari
pemerintah, kondisi perekonomian kota, dll. Eksosistem tidak berpengaruh
secara langsung kepada anak akan tetapi dapat dirasakan dampaknya dalam
perkembangan anak. Dan lingkaran yang paling besar (makrosistem) diisi
oleh: kondisi negara, agama, perkembangan teknologi, ideologi politik,
budaya bangsa, dll. yang lebih luas cakupannya.
Teori ini menjelaskan
mengapa Sang Sunan menyarankan kepada individu untuk memilih lingkungan
yang sehat, yang individu-individunya sehat (wong kang sholeh). Karena
lingkungan yang sehat akan mengkondisikan atau membantu individu yang
"kurang sehat" menjadi lebih sehat.
4. Kudu weteng ingkang luwe (perbanyaklah berpuasa)
Ada anak bertanya pada bapaknya
Buat apa berlapar-lapar puasa
Lapar mengajakmu rendah hati selalu
Penggalan lirik lagu Bimbo yang paling laris diputar di bulan Ramadhan
ini meringkas makna puasa.
Bahwa puasa adalah menutup pintu kesombongan
karena kita sedang lapar. Menutup pintu perbedaan antara yang terbiasa
makan enak dan yang makan kurang enak karena kita sedang sama-sama tidak
makan. Bahwa puasa adalah latihan fisik sekaligus mental yang
"secara
sengaja" membuat kita lemah karena kita sudah sering terlalu kuat,
sampai-sampai kekuatan itu menjadikan kita merusak, mendominasi,
menyombongkan diri, dll.
Ada dimensi kerendahan hati di dalam puasa. Ada
dimensi kejujuran (tidak mencuri untuk makan atau minum meskipun tidak
ada orang lain yang melihat). Jika puasanya di bulan Ramadhan, maka ada
dimensi kemurahan hati (dalam sedekah dan zakat). Ada dimensi istabaqal
khairaat (dalam berlomba mendapatkan pahala berlipat ganda). Ada dimensi
perenungan historical dan pengambilan pelajaran (dalam peringatan
nuzulul qur'an). Ada dimensi "doorprice" (dalam malam lailatul qadar).
Ada dimensi biblioterapi (dalam tadarus).
5. Dzikir wengi ingkang suwe (perbanyaklah berdzikir dalam sisa malam)
Hampir sama dengan poin kedua, waktu malam dipilih oleh Sang Sunan.
Aktivitasnya yang berbeda. Jika poin kedua adalah mendirikan sholat,
maka kali ini adalah berdzikir. Mengapa?
Di dalam dzikir ada dimensi
penyadaran diri (mengingat bahwa kita sangat kecil dan hina di hadapan
Tuhan yang Maha Agung). Ada dimensi pendekatan diri (ingat salah satu hadist Qudsi yang mengatakan bahwa "jika hambaKu datang kepadaKu dengan
berjalan, maka Aku akan mendatanginya dengan berlari"). Ada dimensi
pemusatan perhatian (baca: mengumpulkan kembali kepingan masalah hidup
yang terserak atau berantakan). Ada dimensi kembali kepada titik pusat
(baca: menemukan tujuan hidup yang lebih penting).
Nah, jika belum satupun dari kelima obat hati di atas dapat kita
lakukan, maka hari ini kita bisa memulainya bahkan dari
angka nol. Maka,
mulailah berNiat sekarang untuk meyembuhkan diri sendiri. Kemudian
lanjutkan dengan satu, dua, tiga, dan seterusnya. Di atas, saya banyak
menyinggung teknik Psikoterapi. Sebenarnya, dalam teknik Psikoterapi
memang mensyaratkan hubungan profesional antara klien dengan terapis
(psikiater, psikolog) di dalam proses penyembuhannya.
Namun kali ini,
biarlah Dia(الله) yang secara langsung menjadi Terapis kita. Biarlah Dia (الله)yang
berdaulat sepenuhnya atas hidup kita. Wallahu a'lam bis shawaab. (:)
bab II.PERJALANAN HIDUP MANUSIA : ANTARA MACAPAT DAN PSIKOLOGI PERKEMBANGAN
1. Pendahuluan
Manusia itu makhluk multidimensional (Hartoko, 1985). Akan tetapi,
menurut Suhartono (2008:51), apabila manusia dipandang sebagai realitas,
maka ia bukan hanya merupakan realitas kuantitatif, tetapi juga
realitas kualitatif. Hal-hal yang fisis-kuantitatif umumnya sudah jelas,
tetapi yang spiritual-kualitatif tetap tertinggal menjadi misteri
misalnya, misteri tentang asal-mula dan tujuan kehidupannya. Walaupun
umat beragama mungkin sepakat mengatakan bahwa asal-mula kehidupan
manusia adalah Tuhan dan bertujuan untuk kembali kepada-Nya, tetapi
tampaknya hampir semua orang, bila kesempatan memungkinkan cenderung
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan.
Artinya, pengetahuan manusia belum terhubungkan secara
kausalistik-fungsional dengan realitas konkret perilaku sehari-hari.
Menurut Suhartono (2008:52) dari kesenjangan antara pengetahuan dan
perilaku muncullah pendidikan. Artinya, manusia memerlukan pendidikan
untuk mengatasi kemunafikan dan sifat hipokritnya, yaitu menyelaraskan
antara pengetahuan dan perilaku.
Misteri dimensi
spiritual-kualitatif manusia tetap merupakan tantangan bagi ilmu-ilmu
sosial dan humaniora ketika hendak memahami manusia secara holistik dan
komprehensif. Upaya ini semakin tidak mudah karena kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi telah mendorong manusia semakin terpuruk jauh
ke dalam lorong kehidupan sekuler-positivistik dengan orientasi
hedonisme-materialistik. Akibatnya, dunia sipritual-transendental
terabaikan. Kehidupan hanya memperoleh maknanya pada dimensi kekinian
dan manusia semakin tidak perduli pada dimensi kehidupan hari esok.
Padahal sifat hakikat manusia selalu bergerak menuju ke masa depan.
Dengan demikian, kehidupan cenderung terpusat pada kepentingan (dengan
mengabaikan kebenaran) dan manusia menjadi titik sentral. Dalam keadaan
demikian, manusia memosisikan dan memerankan dirinya di atas
segala-galanya. Dengan begitu, manusia memiliki kekuasan untuk
memanfaatkan potensi alam dan sesama. Di bawah kekuasaan manusia
rupanya, kehidupan berlangsung menjadi ”antroposentristik” (Djumransjah,
2006:86; Sudiarja, 2006:298; Knight, 2007:21; dan Suhartono, 2008:52).
Menurut Suhartono (2008:53) dalam
konteks kehidupan yang demikian, manusia adalah makhluk yang selalu
mencoba memerankan diri sebagai subjek dan objek. Sebagai subjek dia
selalu berusaha mendidik dirinya (sebagai objek) untuk perbaikan sikap
dan perilakunya. Inilah hakikat tujuan pendidikan yang didialogkan
melalui berbagai model pembelajaran kehidupan. Tujuan pendidikan pada
hakikatnya mencerdaskan potensi spiritual, intelektual, dan emosional.
Kemudian, masa pendidikan berlangsung sepanjang hayat dalam berbagai
kegiatan kehidupan dalam lingkungan sosial dan budaya. Pendidikan
menjadi semakin penting ketika manusia menyadari sedang menjalani
kehidupan pada zaman edan, suatu zaman kekacauan yang sedang melanda
masyarakat.
Ranggawarsita melalui Serat Kalatidha (Purwadi dan Djoko
Dwiyanto, 2006:193) menggambarkan zaman edan seperti berikut.
Amenangi zaman edan,
ewuh aya ing pambudi,
milu edan nora tahan,
yen tan milu anglakoni,
boya keduman melik,
kaliren wekasanipun,
dilalah karsa Allah,
begja-begjane kang lali,
luwih begja kang eling lawan waspada.
Terjemahan:
Mengalami zaman gila,
serba sulit dalam pikiran,
ikut gila tak tahan,
kalau tidak ikut,
tidak dapat bagian,
akhirnya kelaparan,
untungnya takdir Allah,
seuntung-untungnya orang lupa,
masih beruntung yang sadar dan waspada.
Gambaran tersebut merupakan tuntutan, agar manusia lebih intensif
melibat diri dalam kegiatan pendidikan dan kebudayaan untuk mencapai
kedewasaan dan kematangannya. Manusia sebagai makhluk berpendidikan
dapat dicermati dalam pengalaman empiris sehari-hari. Sejak lahir
pendidikan telah berlangsung sehingga sejak itu manusia terlibat
langsung dalam kegiatan pendidikan. Dia dijaga, dirawat, dididik,
diajar, dan dilatih oleh orang tua di dalam keluarga dan masyarakatnya
termasuk pendidikan kelembagaan menuju taraf kedewasaan hingga terbentuk
kemandirian mengelola kelangsungan hidupnya. Setelah kedewasaan
dicapai kemudian, manusia tetap melanjutkan kegiatan pendidikan dalam
rangka pematangan dirinya. Kematangan diri adalah kemampuan menolong
diri sendiri, orang lain, dan terutama menjaga kelestarian alam, yakni
tempat berlangsungnya seluruh rangkain kegiatan pendidikan. Artinya,
pematangan diri adalah upaya manusia untuk menjadikan dirinya semakin
arif dengan sikap dan berperilaku adil terhadap segala sesuatu yang
menjadi bagian integral dari eksistensi kehidupannya. Dengan demikian,
persoalan pendidikan adalah persoalan yang cakupannya seluas persoalan
kehidupan manusia itu sendiri. Kegiatan kehidupan manusia, baik langsung
maupun tidak senantiasa mengandung makna kependidikan (Jalaluddin,
2002:243; Tilaar, 2002:188; Suhartono, 2008:54--56). Ini sebabnya
pengetahuan tentang perjalanan hidup dan/atau tahapan-tahapan
perkembangan psikis begitu penting dan relevan dipahami seiring dengan
keberadaan manusia sebagai makhluk berkebudayaan.
Manusia sebagai makhluk
berkebudayaan ditunjukkan dengan kegiatan pewarisan nilai-nilai
kehidupan dari generasi kepada generasi berikutnya. Pewarisan ini
berkaitan dengan keberadaan manusia secara psikologis memiliki dua
jenis dorongan yang menentukan bentuk tingkah lakunya, yaitu insting
dan insight. Insting merupakan dorongan nafsu belaka. Pada taraf ini
manusia tidak berbeda dengan hewan, karena itu insting sering disebut
dorongan hewani. Sebaliknya, Insight merupakan dorongan insani berupa
akal dan budi. Akal adalah kemampuan melakukan pembedaan atas realitas
dan budi adalah kemampuan melakukan pemilihan sesuai dengan kodrat
manusia. Dengan akalnya manusia membagi dan menandai realitas atas
fakta-fakta ke dalam nama dan rupa. Dengan budinya manusia melakukan
pilihan-pilihan atas fakta-fakta sesuai dengan kodratnya (kemanusiaan)
berdasarkan norma-norma dan nilai-nilai. Dalam konteks ini manusia
mengatur dan mengontrol tingkah lakunya secara rasional sesuai dengan
kebutuhannya sendiri tanpa mengabaikan norma dan nilai dalam
lingkungannya. Pada taraf ini manusia dapat dikatakan telah berbudaya
karena telah membedakan antara “yang harus” dan “yang tidak harus”,
antara “yang boleh” dan “yang tidak boleh” berdasarkan pertimbangan
moral disertai dengan kemampuan menggunakan simbol. Ini menunjukkan
adanya hubungan yang signifikan antara akal-budi pada satu sisi dengan
kebudayaan pada sisi lain (Poedjawijatna. 1996:14; Jalaluddin,
2002:240; Sukarma, 2007:12).
Dengan demikian, kualitas suatu
masyarakat tampak dari tingkat kebudayaannya karena kebudayaan
merupakan presentasi dari tingkat pemikiran masyarakat tersebut. Secara
konseptual bahwa tingkat pemikiran dan tingkat pendidikan (suatu
masyarakat) memiliki korelasi positif dengan kemajuan kebudayaan. Ini
sebabnya kebudayaan hanya diwariskan melalui proses pembelajaran, bukan
secara geneal-fisiko-biologis. Kebudayaan yang hidup di dalam pikiran
merupakan sikap mental dan pola tingkah laku yang dipelajari dan
disampaikan dari generasi kepada generasi berikutnya. Setidaknya ada
tiga proses pembelajaran kebudayaan yang penting dalam kaitannya dengan
manusia sebagai makhluk hidup dan bagian dari suatu sistem sosial.
Proses pembelajaran kebudayaan yang berlangsung sejak dilahirkan hingga
mati, yaitu dalam kaitannya dengan pengembangan pikiran, perasaan, dan
kehendak dalam rangka pembentukan kepribadian dikenal sebagai proses
internalisasi. Mengingat manusia juga bagian dari suatu sistem sosial
sehingga setiap individu selalu belajar tentang pola tindakan, agar ia
dapat mengembangkan hubungannya dengan individu-individu lain dalam
lingkungan sekitarnya disebut sosialisasi. Selanjutnya, proses
pembelajaran kebudayaan, yaitu seseorang harus mempelajari dan
menyesuaikan sikap dan alam berpikirnya dengan sistem norma yang hidup
dalam kebudayaannya dikenal dengan enkulturasi atau pembudayaan
(Purwanto, 2000:43; Sudiarja, 2006:276; Sukarma, 2007:14). Dengan
demikian, dapat dipahami bahwa pendidikan dan pembudayaan merupakan dua
sisi dari satu mata uang yang berfungsi meningkatkan kemanusiaan.
Inilah yang menentukan tingkat kualitas individu ataupun masyarakat.
Dikatakan demikian karena melalui
kegiatan pendidikan manusia mendapatkan ilmu pengetahuan yang bernilai
kebenaran, baik universal-abstrak dan teoretis maupun praktis
(Suhartono, 2008:56--58). Nilai kebenaran ini mendorong terbentuknya
sikap dan perilaku arif-berkeadilan dan dengannya manusia membangun
kebudayaan dan peradaban. Kebudayaan, baik material maupun spiritual
merupakan upaya manusia untuk mengubah dan membangun keterhubungan
berimbang, baik secara horizontal maupun vertikal. Secara horizontal
misalnya, dengan sikap terdidiknya manusia mendukung kodrat hidupnya
untuk senantiasa terdorong membangun hubungan dengan diri sendiri dan
sesama termasuk dengan alam secara arif-berkeadilan. Dalam membangun
keterhubungan ini manusia wajib membangun moral, yaitu pengendalian
diri dalam berperilaku. Dengan begitu, manusia mampu menjalani
kehidupannya menurut azas kecukupan, bukan menuruti keinginan. Untuk
itu juga diperlukan pengetahuan tentang perjalanan hidup dan/atau
tahapan-tahapan perkembangan psikis sejak lahir hingga meninggal,
sebagaimana digambarkan dalam macapat dan psikologi perkembangan.
Perjalanan hidup manusia sejak
dilahirkan hingga meninggal dunia digambarkan secara apik oleh leluhur
Jawa dalam macapat, yakni dari tembang mijil sampai dengan tembang
pucung (Susteya, 2007). Malahan para pujangga, bukan hanya sekadar
memotret perjalanan hidup atau tahapan-tahapan perkembangan manusia,
tetapi juga memberikan jalan keluar atau pemecahan terhadap
permasalahan yang mungkin dihadapi pada setiap tahapan perkembangan.
Artinya, makna dan hikmah hidup termasuk cara pemecahan masalah yang
timbul pada setiap tahapan perkembangan manusia dikemas begitu sublim
secara simbolik dalam macapat. Sementara itu, psikologi perkembangan
menggambarkan proses pekembangan psikis manusia dari lahir hingga tua
(menjelang meninggal dunia) (Sujanto, 1980; Monks dkk, 1984). Apabila
gambaran tentang perjalanan hidup manusia menurut macapat dapat
diasumsikan relevan dengan tahapan perkembangan psikis manusia menurut
psikologi perkembangan, maka untuk melihat relevansi antara perjalanan
hidup manusia menurut macapat dan psikologi perkembangan inilah yang
menjadi tujuan tulisan ini.
Dalam tradisi Jawa
tahapan-tahapan perkembangan psikis ditandai dengan ritual-ritual yang
menunjukan tahapan-tahapan yang disebut Monks (1984:3) suatu proses
yang di dalamnya individu dan sifat lingkungan akhirnya menentukan
tingkah laku apa yang akan diaktualisasi dan dimanifestasi.
Tahapan-tahapan ritual itu di antaranya berupa upacara selamatan sejak
manusia lahir hingga meninggal dunia. Secara etis ritual-ritual itu
mengarah pada pemahaman inividu tentang orientasi tempat dibandingkan
dengan pertimbangan rasional. Tindakan ini dilakukan berdasarkan status
dan peran yang tepat, seperti dikatakan Magnis-Suseno (1999:150) bahwa
seluruh kebijaksanaan hidup-Jawa dapat dirangkum dalam tuntutan dasar
untuk selalu menempati tempat yang tepat. Demikian juga epistemologi
dengan mengutamakan kategori tempat dirancang agar kehidupan terus
berjalan serta sistem etika Jawa yang lebih menonjolkan kategori tempat
apa yang harus dilakukan masing-masing ditentukan oleh tempatnya dalam
masyarakat. Konsekuensi pandangan ini merupakan penerimaan orang Jawa
terhadap dimensi misteri kehidupan.
Dalam budaya Jawa bahwa sikap
penerimaan misteri kehidupan terdapat dalam kosa kata “nrima”, “iklas”,
dan “rila”. Nrima berarti orang dalam keadaan kecewa dan dalam
kesulitan apa pun akan bereaksi dengan rasional. Kata ini menuntut
kekuatan untuk menerima apa yang tidak dielakkan tanpa membiarkan diri
dihancurkan olehnya. Ikhlas berarti kesediaan untuk melepaskan
individualitas sendiri dan mencocokkan diri ke dalam keselarasan agung
alam semesta sebagai-mana sudah ditentukan. Rila merupakan kesanggupan
melepaskan sebagai kesediaan untuk melepaskan hak milik,
kemampuan-kemampuan, dan hasil-hasil pekerjaan sendiri, bila itulah
yang menjadi tuntutan tanggung jawab atau nasib. Dua kata terakhir ini
harus dipahami sebagai keutamaan positif, bukan sebagai menyerah dalam
arti jelek, melainkan sebagai tanda penyerahan otonom, sebagai
kemampuan untuk melepaskan penuh pengertian daripada membiarkan saja
sesuatu direbut secara pasif (Magnis-Suseno, 1999: 143-144; Pitana,
2010).
Akhirnya, dapat dipahami bahwa
secara teologis perjalanan kehidupan manusia dan perkembangan psikisnya
berujung pada pemahaman yang sinkretik Hindu-Jawa, yaitu konsep
kemanunggalan. Ini sebabnya sangat menarik memperbincangkan paham
ngelmu makrifat dalam tradisi Jawa dan memperbandingkannya dengan
psikologi perkembangan. Dengan demikian, makalah ini merupakan satu
alternatif perbandingan kedua konsep itu yang pengungkapannya
diharapkan saling mempertajam pemaknaan keduanya.
2. Perjalanan Hidup Manusia
Potret perjalanan hidup manusia dari lahir hingga meninggal dunia dalam
tradisi Jawa digambarkan begitu jelas dan tegas melalui tembang mijil
hingga pucung (Susetya, 2007:5—24). Bukan hanya itu, bahkan juga
digambarkan berbagai jalan keluar terhadap permasalahan yang mungkin
muncul pada setiap tahapan perjalan hidup. Walaupun pujangga Jawa
memberikan gambaran ini dalam bentuk simbolik berupa metafor-metafor,
lazimnya pujangga menangkap fenomena alam dan sosial. Perjalanan hidup
manusia yang terekam dalam macapat ini akan dilihat relevansinya dengan
psikologi perkembangan seperti dijelaskan berikut di bawah ini.
(1) Mijil
Mijil berarti keluar atau lahir, yaitu bayi yang baru lahir (Susetya,
2007:5). Bayi yang baru lahir tentu masih dalam keadaan fitrah, suci,
murni tanpa dosa, seperti kertas putih-bersih. Agar anak dapat
berkembang normal, menurut Susetya (2007:6) orang tua memiliki kewajiban
memberikan nama kepada anaknya, memenuhi kebutuhannya, memberikan
pendidikan, dan agama. Lebih jauh dijelaskan bahwa dalam tradisi jawa
ayah dan ibu wajib memberikan anaknya kasih sayang, mendidik budi
pakertinya, dan melatih kecakapannya dengan mulat (mengetahui), milolo
(membombong), miluta (membimbing), palidarma (memberikan tauladan atau
contoh), dan palimarma (memaafkan kepada anak-anak).
Sejalan dengan hal tersebut
Sujanto (1980:23) menjelaskan bahwa kecakapan yang perlu dikembangkan
pada anak usia tahun pertama, antara lain kecakapan instinktif,
kecakapan umum, dan cara belajar. Kecakapan instinktif berhubungan
dengan upaya mempertahankan hidup, seperti makan dan minum. Dalam hal
ini termasuk gerakan sederhana misalnya, memalingkan kepala dengan
mengarahkan mata atau telinga, bila menerima getaran atau cahaya.
Kecakapan umum anak usia tahun pertama yang perlu dikembangkan, antara
lain penguasaan badan (berlajar berdiri dan berjalan), pergaulan anak
dengan benda (memandang termangu-mangu, memegang mainan, bermain-main
dengan menggunakan benda-benda), dan pergaluan anak dengan manusia
(dapat tersenyum, tertawa, menangis, dapat mereaksi wajah yang
berlainan, mulai bersuara, dan mencoba menarik perhatian). Kemudian,
menurut Monks dkk. (1984:86—87) pada usia empat tahun anak dapat
mengadakan orientasi dalam situasi yang asing dan tidak asing, dapat
mengambil bagian secara aktif dalam percakapan di rumah dan komunikasi
dengan teman sebayanya, sedikit sudah mengerti ruang dan waktu (seperti
siang-malam, di sana dan di sini), sudah mulai mengenal norma (seperti
jangan dan silahkan), dan anak sudah dapat membuat rencana termasuk
sudah dapat memikirkan yang akan dilakukan. Begitulah perkembangan anak
hingga mencapai usia enam tahun ia sudah memiliki pertumbuhan fisik
dan perkembangan psikis keseimbangan, bahkan kekuatan badan dan tangan
pada anak laki-laki mengalami pertumbuhan yang pesat pada usia antara
enam dan dua belas tahun (Monks dkk., 1984:153).
(2) Sinom
Sinom berarti muda, yaitu suatu tahapan perkembangan manusia yang masih
dalam nom-noman, anom atau remaja (Susetya, 2007:9). Inilah tahapan
perkembangan manusia untuk meniti cita-cita, karena itu remaja menempuh
pendidikan, seperti SMP (Sekolah Mengenah Pertama) dan SMA (Sekolah
Menengah Atas). Melalui pendidikan mereka mengembangkan diri menuju
kedewasaan hingga terbentuk kemandiran mengelola kehidupannya sendiri.
Jadi, yang terpenting pada usia anom (remaja) adalah menuntut ilmu
sejalan dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Seperti ungkapan
berikut, ‘senyampang masih muda, tuntutlah ilmu pengetahuan sebanyak
mungkin untuk persiapan masa tua’ atau ‘gantungkanlah cita-citamu
setinggi langit’. Senyampang (mumpung) masih muda memang hendaknya
memanfaatkan masa muda seoptimal mungkin sebelum tua. Begitu juga ketika
masa sehat sebelum waktu sakit, masa kaya sebelum miskin, masa hidup
sebelum mati, dan masa waktu luang sebelum sempit (Susetya, 2007:10).
Sejalan dengan hal tersebut,
Monks dkk. (1984:215) menegaskan bahwa masa remaja (dari usia 12 hingga
18 tahun) merupakan waktu yang sebaik-baiknya pergi ke sekolah untuk
memperoleh pengertian dasar yang dibutuhkan dalam kehidupan yang
semakin maju. Masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari
anak-anak menuju dewasa, karena itu tugas-tugas perkembangan remaja,
antara lain perkembangan aspek biologik, menerima peranan dewasa
berdasarkan kebiasaan masyarakat, mendapatkan kebebasan emosional dari
orang tua dan orang dewasa lainnya, mendapatkan pandangan hidup
sendiri, dan merealisasikan identitas sendiri serta dapat
berpartisipasi dalam kebudayaan. Anak masih banyak belajar melalui
enkulturasi, sosialisasi, dan adaftasi untuk memperoleh tempat dalam
masyarakat sebagai warga negara yang bertanggung jawab.
(3) Asmarandana
Asmarandana artinya cinta, cinta kepada lawan jenis, yaitu cinta
seorang pria kepada wanita (Susetya, 2007:10). Suatu tahapan kehidupan,
masa seseorang telah berhubungan asmara dengan lawan jenisnya, yakni
kira-kira pada usia belasan dan dua puluhan tahun. Misalnya, dalam
budaya Jawa diungkapkan, ”witing tresna jalaran saka kulina” (cinta bisa
tumbuh dan berkembang karena kebiasaan). Artinya, dalam pergaulannya
antara pria dan wanita yang pada awalnya tidak memikirkan percintaan,
tetapi lama-kelamaan bisa menumbuhkan cinta, lantaran kulina (kebiasaan
sehari-hari). Begitulah cinta merupakan tema abadi dalam kehidupan
manusia pada setiap bangsa dan setiap zaman. Banyak orang beranggapan
bahwa percintaan merupakan peristiwa penting dari tiga hal terpenting
dalam kehidupan manusia, yaitu kelahiran, perkawinan, dan kematian.
Orang yang terlibat cinta bisa menimbulkan semangat gairah hidup, tetapi
juga bisa frustrasi, bahkan bunuh diri karena kegagalan cinta. Untuk
itu, Purwadi (2005) menyarakan, agar asmara disalurkan sesuai dengan
moral agama sehingga berbuah kebajikan, menyelamatkan, kehormatan,
kemuliaan, dan kebahagiaan. Sebaliknya, seseorang yang bermain-main
dalam cinta dan percintaan akan menyebabkan masalah sosial dalam
masyarakat. Oleh karena itu, seseorang diharapkan menjalani masa
asmarandana secara proporsional.
Fase perjalan hidup tersebut
dalam psikologi perkembangan disebut masa pemuda, antara lain terdiri
atas fase pueral, fase negatif, dan fase puber (Sujanto, 1980:205).
Pada fase pueral anak laki-laki mulai memisahkan diri dari perempuan.
Anak laki-laki memandang anak perempuan sebagai menjijikkan dan anak
perempuan memandang anak laki-laki sebagai tukang bual. Pada fase
negatif ini anak bersikap serba menolak terhadap segala sesuatu, serba
ragu, tidak pasti, tidak senang, dan tidak setuju, bahkan sering murung
dan sedih tanpa sebab yang jelas, serta sering melamun tak menentu dan
kadang-kadang putus asa. Fase puber merupakan inti dari seluruh masa
pemuda yang ditandai oleh berkembangnya kelamin primer (pertumbuhan
yang pesat sehingga tubuh tampak tidak seimbang), kelamin skunder
(mulai tumbuh rambut baru), dan kelamin tersier (perkembangan tubuh
mencapai kesempurnaan dan harmonis). Lebih jauh dijelaskan bahwa pada
fase pemuda, anak-anak akan mengalami perkembangan pesat dalam hal
seksualitas, fantasi, emosi, kemauan, pikiran, estetika, dan religi.
(4) Kinanthi
Kinanthi adalah fase setelah seseorang melakukan perkawinan sehingga ia
memasuki babak baru dalam menjalani kehidupannya, yakni kehidupan
berumah tangga (Susetya, 2007:12). Berkaitan dengan kehidupan berumah
tangga, pujangga Jawa memberikan rambu-rambu melalui tembang berikut.
Gegarane wong akrami.
Dudu bandha dudu rupa.
Among ati pawitane.
Luput pisan kena pisan.
Yen angel angel kalangkung.
Tan kena tinumbas arta.
Terjemahan:
Rambu-rambu dalam perkawinan
Bukan karena harta, bukan karena wajah
Hanya hati modalnya
Gagal sekali, tepat sekali
Jika terlanjur sulit, sulit sekali
Jika benar/tepat ibaratnya tak bisa dibeli harta.
Dari tembang di atas dapat dipahami bahwa yang harus diutamakan dalam
menentukan perkawinan adalah kualitas pribadi dan kedewasan termasuk
keyakinanya. Ini berarti seseorang memiliki modal agama, budaya, dan
sosial yang memadai. Pada umumnya setelah memasuki perkawinan, sesepuh,
ulama, dan orang tua mendoakan, agar suami-istri dapat mewujudkan
keluarga sakinah mawaddah warahmah, yakni kehidupan yang bahagia saling
mencintai dalam naungan rahmat Tuhan. Untuk itu kepala keluarga
dituntut menguasai berbagai kecakapan dan keterampilan hidup, seperti
kegiatan pragmatis tanpa keahlian (pekerjaan tukang), kegiatan rutin
dan monoton (pegawai negeri), kegiatan pengembangan (peneliti), dan
mampu menangani bidang usaha secara proporsional (profesional). Oleh
karena itu pujangga Jawa menggambarkan fase ini adalah kinanthi
(dibekali), yaitu sepasang pengantin yang dibekali tanggung jawab untuk
membina kehidupan bersama dalam keluarga.
Walaupun demikian, masa awal
berumah tangga tetap harus dipahami sebagai masa yang sulit bagi setiap
manusia. Ini merupakan kondisi kritis kehidupan karena terjadi
loncatan kehidupan, baik secara sosial maupun psikis – dari semula
hidup sendiri, menentukan keputusan sendiri secara bebas, sekarang
harus hidup bersama dan mengambil keputusan demi kebaikan bersama. Oleh
karena itu, perkawinan selalu dilegitimasi melalui ritual sakral dalam
berbagai tradisi. Setidak-tidaknya, ritual ini menegaskan kalau
keputusan untuk hidup bersama dalam sebuah keluarga merupakan pilihan
hidup yang memerlukan keyakinan, kesiapan mental, dan kecakapan yang
luar biasa karena idealnya perkawinan hanya terjadi satu kali selama
hidup (kena pisan, luput pisan). Jadi, benar atau salah pasangan hidup
yang dipilih, dan juga pilihan untuk menikah itu sendiri harus
benar-benar merupakan pilihan yang meyakinkan, penuh pertimbangan, dan
untuk itulah diperlukan kedewasaan.
(5) Dhandhanggula
Dhandhanggula terdiri atas dua kata, yaitu “dhandhang” berarti pait
(pahit) dan “gula” berarti manis (Susetya, 2007:17). Dengan demikian,
dhandhanggula berarti gambaran pahit-manis atau suka-duka kehidupan
setelah berumah tangga. Pada tahapan ini suami-istri, selain mengalami
kenikmatan hidup misalnya, mendapatkan momongan (putra) dan penghasilan
yang cukup, tetapi juga mereka semakin bertanggung jawab sehingga
mereka menjalani kehidupan dengan lara lapa (prihatin). Dhandhanggula
bermakna rasa optimis terhadap masa depan yang manis, cerah, dan
gemilang setelah melewati masa pahit. Oleh karena itu, masa depan yang
cerah harus dilewati dengan agenda hidup yang jelas dan tegas, seperti
dikatakan oleh Purwadi (2005), lumampah anut wirama (berjalan sesuai
aturan yang berlaku).
Pengalaman mengenai pahit-manis
kehidupan merupakan salah satu faktor yang turut membangun kedewasaan
diri seseorang. Secara psikologis, orang yang dewasa ditandai dengan
beberapa ciri, antara lain: (1) adanya usaha pribadi pada salah satu
lapangan yang penting dalam kebudayaan, yaitu pekerjaan, politik,
agama, kesenian, dan ilmu pengetahuan; (2) kemampuan untuk mengadakan
kontak yang hangat dalam hubungan-hubungan yang fungsional maupun yang
tidak fungsional; (3) suatu stabilitas batin yang fundamental dalam
dunia perasaan dan dalam hubungan dengan penerimaan diri sendiri; (4)
pengamatan, pikiran, dan tingkah laku menujukkan sifat realitas yang
jelas, namun masih ada relativitasnya juga; (5) dapat melihat diri
sendiri seperti adanya, dan juga dapat melihat segi-segi kehidupan yang
menyenangkan; dan (6) menemukan suatu bentuk kehidupan yang sesuai
dengan gambaran dunia atau filsafat hidup yang dapat merangkum
kehidupan menjadi suatu kesatuan (Monks, dkk., 1984:266).
Fase dhandanggula ini menunjukkan
pentingnya beguru pada pengalaman hidup. Tempaan hidup yang dialami
selama masa-masa awal perkawinan harusnya bisa membentuk diri yang kuat
dan tangguh untuk menatap masa depan yang lebih baik. Sebaliknya,
perilaku-perilaku yang menimbulkan kesenangan dalam keluarga dapat
dipertahankan melalui pengulangan-pengulangan, bahkan dapat
ditingkatkan intensitas dan kualitasnya. Hal ini penting mengingat
dalam realitas empiris, tanggung jawab untuk membangun kebahagiaan
keluarga semakin besar dari masa ke masa. Dari semula hanya hidup
berdua (suami-istri), kini juga harus memikul tanggung jawab baru
sebagai orang tua. Untuk itu pendewasaan diri melalui kerja reflektif
pada pengalaman hidup harus terus menerus diupayakan.
(6) Maskumambang
Maskumambang atau maskentar merupakan gambaran kepalsuan (kehidupan).
Adakah emas yang kumambang (mengapung) atau kentar/kentir (terapung)?
Jadi, kata “maskumambang” berarti emas yang terapung atau mengapung
(Susetya, 2007:18). Malahan Purwadi (2005) menganalogikan maskumambang
sebagai seorang pemuda setelah memasuki perkawinan yang penuh perjuangan
sehingga tampak gagah seperti emas mengapung (maskumambang). Yang
terpenting pada masa ini adalah jembatan emas yang harus dimanfaatkan
sebaik-baiknya. Mengingat pada masa ini seseorang setelah memasuki
perkawinan, ibaratnya berada pada puncak karier kira-kira mereka berusia
31--45 tahun, yaitu usia produktif dan usia yang paling kokoh dan
tangguh. Pada masa ini ada dua pilihan besar, yaitu kesuksesan dan
kegagalan. Jika mau berusaha sungguh-sungguh, maka mereka akan bahagia
pada masa tuanya. Sebaliknya, jika bermalas-malasan, maka mereka akan
gagal hingga masa akhirnya. Ini sebabnya pujangga Jawa juga menyindir
(nyemoni) dengan maskumambang yang ditujukan kepada mereka yang enggan
berjuang keras, yakni dalam arti kotoran manusia yang mengapung di air.
Dalam psikologi perkembangan,
fase ini dapat dijelaskan dalam kerangka psikologi humanistik.
Psikologi humanistik bertitik tolak pada pendirian bahwa manusia ikut
menentukan hidupnya secara aktif dan tidak hanya pasif menerima
konflik-konflik yang belum terselesaikan maupun proses-proses belajar
dari luar saja (Monks, 1984:1984:270). Artinya, manusia dewasa harus
berani menentukan arah dan tujuan kehidupannya secara aktif. Hal ini
merupakan tingkat pendewasaan lebih lanjut dari sejak orang mulai
berumah tangga. Pada masa-masa awal perkawinan kehidupan rumah tangga
lebih banyak diarahkan untuk menanggulangi masalah-masalah seperti,
pemenuhan kebutuhan dasar hidup (sandang, pangan, papan), mendapatkan
keturunan, dan penyesuaian perbedaan karakter, sifat, dan sikap antara
suami-istri. Pada masa berikutnya, proses pendewasaan dilakukan melalui
pembelajaran pada pengalaman-pengalaman hidup. Namun pada masa ini,
pendewasaan dimulai dengan keberanian untuk menentukan pilihan-pilihan
hidup dan bertanggung jawab atas segala konsekuensi atas pilihan
tersebut. Dari sinilah proses pematangan diri dimulai, yakni dengan
ditetapkannya pilihan-pilihan hidup, baik bagi kebaikan diri sendiri
maupun kebaikan bagi lingkungannya.
(7) Durma
Durma berasal dari kata “dur” berarti mundur dan “ma” berarti maju.
Jadi, durma berarti maju-mundur atau keragu-raguan, was-was atau
tidha-tidha dalam kehidupannya (Susetya, 2007:19). Keraguan ini
disebabkan oleh semakin berat tanggung jawab yang harus dipikul, karena
itu menyebabkan orang frustasi. Kehidupan dirasakan penuh dengan
kekhawatiran dan keraguan, sanggupkah saya menjalani kehidupan yang
berat ini? Keraguan dan kekhawatiran ini lazimnya berkaitan dengan
masalah ekonomi dan kelangsungan hidup keluarga termasuk masa depan
anak. Inilah batu sandungan yang cenderung mendorong pasangan
suami-istri tergelincir ke jalan pintas yang memberikan kemapanan dan
kenikmatan lahiriah. Tidak jarang dijumpai karena masalah ekonomi
dijadikan alasan oleh suami untuk merelakan istrinya melakukan perbuatan
immoral, seperti menjajakan kemolekan tubuhnya kepada pria hidung
belang. Fase ini dapat dipandang sebagai tantangan dalam proses
pematangan diri.
Padahal tahapan durma ini
merupakan saat untuk mempersiapkan fase kehidupan berikutnya, yakni
kehidupan di akhirat yang kekal. Sayang sekali, masalah kehidupan dunia
menggoyahkan keyakinan menapaki jalan kesejatian. Hal ini sejalan
dengan pendapat Swami Rama (2005) bahwa ketakutan dan keragu-raguan
adalah penghambat bagi kemajuan spiritual. Secara psikologis, gejala
ini merupakan hal yang umum terjadi pada orang yang menjelang tua.
Ketakutan akan fisik yang semakin melemah, kehilangan pekerjaan karena
datangnya masa pensiun, dan ketakutan akan hilangnya
fasilitas-fasilitas yang pernah dinikmati sebelumnya merupakan alasan
terjadinya post power syndrom. Padahal di sisi lain, tanggung jawab
yang harus dipikul untuk membahagiakan keluarga dan anak-anak dirasakan
masih belum selesai. Kontradiksi ini kerapkali menimbulkan keraguan
untuk menapaki dunia spiritual. Oleh karena itu, Swami Rama (2005) juga
menganjurkan agar menghilangkan seluruh keraguan dan ketakutan itu
karena keberanian adalah tangga pertama untuk memasuki dunia spiritual.
(8) Pangkur
Pangkur berarti sudah mungkur
atau ngungkurake (membelakangi) dari keglamoran atau kemewahan
keduniawian (Susetya, 2007:21). Mengingat harta, tahta, dan wanita
merupakan jebakan yang bila tidak diantisipasi dengan baik akan menjadi
hijab (penghalang) menuju kesejatian. Begitulah kemewahan hidup
biasanya menyebabkan hati manusia semakin tidak peka dan cepat lupa
diri atau sombong. Untuk itu disarankan, agar manusia menjalani
religius dan spiritual karena telah masuk fase pangkur, seperti
menjalaninya kehidupan dengan sak madya (hidup sederhana), sebagaimana
dituturkan Ki Ageng Suryomentaram dengan konsep kawruh begja, kawruh
jiwa atau pengawikan pribadi.
Orang tua umumnya mengalami
kerentaan secara fisik, namun tidak pada psikisnya. Malahan orang tua
diharapkan menjadi semakin matang dalam caranya berpikir dan bersikap.
Kematangan ini hanya mungkin dicapai bila ia mampu mencapai realisasi
diri yang sempurna (kawruh jiwa).
Oleh karena itu, penting untuk
melepaskan segala ikatan keduniawian yang oleh para pakar psikologi
perkembangan disebut teori pelepasan (disengagement). Orang tua mulai
melepaskan diri dari berbagai ikatan, baik emosional maupun sosialnya
(Monks, 1984:1984:271). Secara psikologis, pelepasan ini penting untuk
menghindarkan orang tua pada pengalaman mengenai kematian
teman-temannya, dunia sosial yang semakin kecil karena pergaulan yang
semakin terbatas, serta mobilitas yang semakin lemah karena kerentaan
fisik yang dialami. Pengalaman-pengalaman ini dapat menimbulkan
frustasi yang berlebihan sehingga akan menurunkan kualitas kesehatannya
secara drastis. Sebagai solusi atas gejala ini, psikologi perkembangan
juga menawarkan teori aktivitas, yaitu pentingnya orang tua terlibat
pada aktivitas-aktivitas yang menyenangkan, sekaligus juga menyehatkan
(Monks, 1984:1984:272). Pada dasarnya, kedua teori ini menghendaki agar
setiap orang tua tetap bisa menikmati masa tuanya dengan senang,
nyaman, dan sehat.
Namun demikian, orang Jawa (juga
Hindu-Buddha) lebih menekankan pada proses pematangan diri sehingga
orang tua bisa benar-benar menjadi “wong tuwa”. Orang tua dalam
khazanah kebudayaan Jawa (Bali: anak lingsir) adalah istilah untuk
orang yang memiliki kemapanan rohani dan kematangan spiritual. Ini
merupakan fase di mana orang tua harus lebih banyak belajar mengenai
pengetahuan rohani (pangawikan pribadi). Dalam tradisi Jawa juga,
pengetahuan rohani ini diwujudkan melalui laku sehingga ia menjadi
ngelmu, seperti dalam tembah Pucung Wedhatama berikut ini.
Ngelmu iku, (yang disebut ngelmu)
Kelakone kanti laku, (terwujudnya harus dengan laku)
Lekase lawan kas, (dilakukan untuk mencapai kasantosan)
Tegese kas nyantosani, (yang dimaksud kas adalah membuat sentosa)
Setya budya, (kejujuran dan keberadaban)
pangekesing dur angkara. (menghilangkan angkara murka)
Tembang pucung tersebut mensyaratkan bahwa pengetahuan rohani harus
diwujudkan dalam ngelmu dan laku. Artinya, pengetahuan saja tidak cukup
tanpa diimbangi dengan tindakan nyata (laku), baik laku spiritual
maupun laku etis. Pada prinsipnya bahwa pada tahapan ini orang tua
harus mampu mengembangkan kebijaksanaan dalam dirinya sehingga bisa
menjadi teladan bagi keluarga dan masyarakat.
(9) Gambuh
Gambuh artinya identik dengan jumbuh, ketemu, seolah-olah sama, tidak
bisa dibedakan (Susetya, 2007:21). Dalam perspektif macapat bahwa gambuh
bermakna ketika seseorang dalam fase tuanya memperdalam ‘ngelmu
sangkan paraning dumadi’ dari mana ia berasal dan akan menuju ke mana
perjalanannya. Seseorang yang berada pada tahapan gambuh ini berarti
sudah mengenal dirinya dan mengenal Tuhannya (makrifat). Ia pun tahu
bahwa kehidupan yang langgeng (abadi) berada di alam akhirat, bukan di
dunia yang penuh suka-duka. Dalam perspektif lain ia telah mencapai
‘manunggaling kawula-Gusti’ atau ‘pamoring kawula-Gusti’. Sastrowardojo
(1982) menjelaskan, kata pamor berasal dari kata wor, amor artinya
campur, gaul atau ada hubungan. Sementara itu, kawula berarti abdi atau
hamba dan Gusti menunjuk pada Tuhan. Dengan demikian, ‘pamoring kawula
Gusti’ bermakna adanya percampuran, pergaulan antara abdi atau hamba
dengan Tuhan. Dalam perspektif kejawen (kebatinan), jelas Sastrowadojo,
yang dimaksud kawula (abdi, hamba), yaitu badan atau jasmani, sedangkan
Gusti yaitu rohaniah. Keduanya sering disebut juga sebagai
‘Loro-loroning atunggal’, ‘dua bersatu’ atau ‘dwi tunggal’. Keduanya
diharapkan sedemikian rupa bisa terus berhubungan sehingga terjadi
saling asah-asih-asuh. Terjadi keseimbangan antara keduanya, tidak boleh
saling memenangkan yang satu bagian dengan yang lainnya.
Boleh dibilang bahwa fase ini
merupakan puncak dari seluruh proses perkembangan struktur psikis
manusia yang dibangun melalui pendidikan dan pembudayaan. Dalam tahap
ini, manusia telah berada dalam fase kematangan yang sempurna.
Dikatakan demikian karena ia telah memahami hakikat dirinya secara utuh
sebagai jasmani dan rohani. Jasmani memang bersifat tidak kekal dan
rohanilah yang kekal. Namun eksistensi jasmani yang sehat penting untuk
mendukung perjalanan rohani menuju tahap kesempurnaannya. Tubuh ini
ibarat kendaraan yang ikut mengantarkan jiwa sebagai penumpangnya ke
tujuan yang dicita-citakan. Apabila kendaraan ini rusak sebelum sampai
ke tujuan, maka bencanalah namanya. Dalam pandangan filsafat Jawa
inilah pentingnya keseimbangan dalam olah raga (mengolah fisik) dan
olah rasa (mengolah rasa). Dengan fisik yang sehat, pikiran juga
menjadi tenang sehingga bisa khusuk dalam kontemplasi untuk mencapai
ngelmu sejati atau ngelmu manunggaling kawula-gusti.
Bagi yang telah mencapai
kesadaran ini, Kakawin Arjunawiwaha I.1, menjelaskan tentang “sang
paramartha pandita, huwus limpat sakeng sunyata” (Pandita utama yang
telah melampaui alam kesunyataan). Dikatakan bahwa orang yang telah
mencapai kesadaran rohani tertinggi, sesunguhnya ia hanya berbatasan
tipis (heletan kelir) dengan Sang Pencipta (Sanghyang Jagat Karana).
Kehidupannya sentosa, kesadaran illahi telah direngkuh, tetapi tetap
menjalani kehidupan sebagaimana manusia lainnya. Namun segala yang
dilakukan tiada lain hanyalah untuk kebahagiaan semua makhluk. Dalam
kaitannya dengan psikologi perkembangan, orang tua yang telah memiliki
kesadaran rohani seperti ini harus bisa menjadikan dirinya sebagai guru
loka (guru masyarakat), tempat bersandar masyarakat untuk meminta
pertimbangan, saran-saran, pendapat, demi kebaikan bersama.
(10) Megatruh
Megatruh terdiri atas dua suku kata, yaitu megat berarti memutuskan dan
ruh berarti roh sehingga memutuskan atau terlepasnya roh seorang
manusia (Susetya, 2007:23). Ini adalah suatu fase terakhir manusia;
yakni menghadapi kematian alias ajalnya. Purwadi menyatakan bahwa pada
tingkat ‘megatruh’ ini identik dengan tingkatan makrifat yang sudah
ikhlas lahir-batin, sehingga ia mencapai ‘mati sajroning urip’ hingga
mencapai akhir hidup yang khusnul khatimah (bahasa Jawa: emate pati
patitis). Keikhlasan dalam menghadapi kematian memerlukan kesadaran
yang sempurna mengenai sangkan paraning dumadi. Seperti pujangga Jawa
menuliskannya dalam tembang “umpamane manuk mabur, mesti bakal mulih
marang kurunganeki” (ibarat burung yang terbang, pasti akan kembali ke
sangkarnya).
Kematian pada umumnya memang
menjadi momok yang menakutkan bagi manusia yang hidup. Ketakutan ini
tercermin dari beragamnya cara dan upaya manusia untuk bertahan hidup
lebih lama. Sebut saja perkembangan ilmu kedokteran dan pengobatan yang
semakin pesat pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas
kesehatan masyarakat sehingga memiliki usia hidup lebih panjang.
Demikian juga dengan kesedihan orang-orang yang ditinggal mati oleh
kerabat terdekatnya. Fenomena kematian secara psikologis memang
dianggap menakutkan bagi kebanyakan orang. Walaupun manusia tidak dapat
menolaknya, namun manusia juga sulit menerimanya dengan lapang dada.
Oleh karena itu, spiritualitas dalam agama apapun mengajarkan betapa
pentingnya mempersiapkan diri dalam menghadapi kematian yang bisa
menjemput kapan saja. Apabila diyakini bahwa hanya amal baik yang bisa
mengantarkan manusia ke kehidupan yang lebih baik di akhirat, maka
meningkatkan kuantitas dan kualitas amal adalah syarat mudah untuk
tetap tersenyum menghadapi kematian.
(11) Pucung
Pucung berarti sudah menjadi pocongan, fase ketika manusia meninggal
dunia sehingga menjadi jenazah (Susetya, 2007:23). Dalam Islam ada
kewajiban bagi ahli warisnya dan masyarakat terhadap orang yang telah
meninggal dunia. Pertama, memandikan. Kedua, mengafaninya dengan tujuh
lapisan kain. Ketiga, mensalatkan, yakni salat jenasah atau salat gaib
dengan empat takbir dimulai dari takbir dan diakhiri dengan salam.
Keempat, menguburkan atau memakamkan jenasah. Purwadi (2002) mengartikan
makna pucung ini sebagai peninggalan ilmu yang telah diamalkan dalam
kehidupan ketika masih hidup di dunia sehingga membuahkan kesejahteraan
bagi dirinya di akhirat kelak.
Dalam Islam dijelaskan semua amal orang
yang telah mati terputus, kecuali tiga perkara.
- Pertama, ilmu yang
bermanfaat.
- Kedua, amal jariyah (amal saleh) ketika ia masih hidup di
dunia.
- Ketiga, anak yang saleh, yakni seorang anak yang mau mendoakan
kepada kedua orangtuanya yang telah meninggal dunia.
3. Penutup
Macapat dalam tradisi Jawa merupakan potret kehidupan manusia dari
sejak lahir hingga kematiannya. Fase-fase kehidupan yang dilukiskan
melalui rangkaian judul macapat tersebut pada dasarnya dapat dijelaskan
dalam kerangka psikologi perkembangan. Setiap tahapan perkembangan di
dalamnya terkandung makna pendidikan yang diarahkan bagi terbentuknya
manusia dewasa dan matang. Pendidikan yang dikehendaki di sini adalah
pendidikan seumur hidup sehingga perkembangan dari satu fase ke fase
berikutnya berlangsung secara bertahap dan berkesinambungan. Dalam
konteks kesusasteran Jawa Kuno, konsep pendidikan semacam ini dapat
ditemukan dalam Kakawin Nitisastra, IV.1, berikut ini.
“Taki-takining sewaka guna widya,
Smara wisaya rwang puluh ayusa,
Tengahing tuwuh sang wacana gagonta,
Patilareng atmeng tanu paguroakena”
Artinya:
Belajarlah seumur hidup tentang guna widya (pengetahuan yang berguna),
Setelah berumur duapuluh tahunan mulai mengenal asmara,
Kalau sudah setengah umur, berpeganglah pada kata-kata bijak,
Lepasnya roh dari badan, juga pelajarilah.
Tanpa terlepas dari konteks di atas setiap manusia harus selalu
meningkatkan kualitas dirinya melalui belajar terus-menerus tentang
pengetahuan yang berguna (guna widya). Guna Widya dalam konteks ini bisa
disejajarkan dengan konsep kawruh begja dan kawruh jiwa yang
disampaikan oleh Ki Ageng Suryomentaram. Selanjutnya, setelah melepas
masa remaja dan menginjak dewasa orang mulai mengenal cinta. Cinta ini
kemudian diikatkan dalam perkawinan sehingga mulailah memasuki fase
kehidupan yang baru, yakni masa berumah tangga yang sekaligus juga
menjadi penanda memasuki masa dewasa. Perkawinan memberikan banyak
pengalaman mengenai kehidupan yang daripadanya pengembangan diri
bergerak menuju kedewasaan. Apabila usia sudah mulai mendekati ajal,
manusia perlu belajar kepada kata-kata bijak. Di sini yang dimaksud
adalah ujaran-ujaran kitab suci, guru kerohanian, dan teladan-teladan
lainnya yang berguna bagi transformasi diri menuju kematangan yang lebih
baik. Dalam tradisi spiritual di Jawa, pendakian spiritual ini
diwujudkan dengan mengedepankan kesatuan antara ngelmu dan laku. Dengan
demikian ia bukan hanya menjadi pengetahuan, melainkan pengalaman.
Demikian juga mengenai kesempurnaan hidup dan kesiapan dalam menghadapi
kematian merupakan puncak dari perkembangan spiritualitas manusia.
Kepustakaan
Ali, Mohammad dan Mohammad Asrori. 2006. Psikologi Remaja: Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Bumi Aksara.
Djumransjah. 2007. Filsafat Pendidikan. Malang: Bayu Media Publishing.
Hartoko, Dick. 1985. Memanusiakan Manusia Muda: Tinjauan Pendidikan Humaniora. Yogyakarta: Kanisius dan BPK Gunung Mulia.
Jalaluddin, 2002. Psikologi Agama. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Knight, George, 2007, Filsafat pendidikan (penerjemah: Mahmud Arif), Yogyakarta: Gama Media.
Magnis-Suseno, F. 1991. Wayang dan Panggilan Manusia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Monks, F.J, dkk. 1984. Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gajah Mada University.
Mulder, Neils. 2007. Di Jawa: Petualngan Seorang Antropolog. Yogyakarta: Kanisius.
Mulder, Niels. 1985. Pribadi dan Masyarakat Jawa. Jakarta: Sinar Harapan.
Pakasi, Supartinah. 1981. Anak dan Perkembangannya: Pendekatan Psiko-Pedagogis Terhadap Generasi Muda. Jakarta: Gramedia.
Poedjawijatna. 1996. Etika Filsafat Tingkah Laku. Jakarta: Rineka Cipta.
Purwadi. 2005. Manunggaling Kawula Gusti: Ilmu Tingkat Tinggi Untuk
Memperoleh Derajat Kasampurnaan. Yogyakarta: Gelombang Pasang.
___________ dan Joko Dwiyanto. 2006. Filsafat Jawa: Ajaran Hidup yang
Berdasarkan Nilai Kebajikan Tradisional. Yogyakarta: Panji Pustaka.
Sadulloh. Uyoh. 2007. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Sjarkawi,. 2006. Pembentukan Kepribadian Anak. Jakarta: Bumi Akasara.
Sudiarja, A., G. Budi Subanar, St. Sunardi, T. Sarkim, 2006. Karya
Lengkap Driyarkara: Esai-Esai Filsafat Pemikiran yang Terlibat Penuh
dalam Perjuangan Bangsanya. Jakarta: PT.Gramedia.
Suhartono, Suparlan, 2007, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA.
Sujanto, Agus. 1980. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Aksara Baru.
___________. 2004. Psikologi Umum. Jakarta: Bumi Aksara.
Susetya, Wawan. 2007. Ngelmu Makrifat Kejawen.Yogyakarta: Narasi.
Zoetmulder, P.J. Manunggaling Kawula Gusti:Pantheisme dan Monisme Dalam Sastra Suluk Jawa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.